I. MUKADIMAH
Islam adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan
dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang datang dari
Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan umat Islam
agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum
muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang
begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang
diperintahkan dan meninggalkan seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh
kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak
dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam
keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai
muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan,
ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu
semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah
kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab. Pengkaburan dari
pemikiran yang benar ini telah dilakukan oleh beberapa pihak, baik dari
luar umat Islam maupun dari dalam umat Islam sendiri.
Dari dalam tubuh umat Islam sendiri, pandangan nyleneh tersebut
pernah dilontarkan oleh beberapa tokoh. Di antaranya adalah Muhammad
Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan
kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikarannya
tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan
oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Pernyataan
kontroversi tentang jilbab juga dilontarkan oleh pakar tafsir Indonesia
M. Quraish Shihab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam Tafsir
Al-Misbah dan Wawasan Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa M. Quraish Shihab adalah pakar tafsir yang
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang. Ia melanjutkan
pendidikan tingkat menengah di Malang, yang ia lakukan sambil menyantri
di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Pada tahun 1958 ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas
II Tsanawiyah Al-Azhar. Tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada
fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Ia
kemudian melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama dan pada tahun
1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al Qur’an dengan
tesis berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’i li Al-Qur’an Al-Karim.
Tahun 1980 , M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikan di almamater lamanya. Tahun 1982 ia meraih doktornya dalam
bidang ilmu-ilmu Al Qur’an dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar
li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Ia lulus dengan yudisium Summa Cum
Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma`a martabat al-syaraf
al-’ula).
Beberapa buku yang sudah ia hasilkan antara lain :Tafsir Al-Manar,
Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan
Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah), Membumikan Al Qur’an, Tafsir
Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz, dan lain-lain.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi tafsir M.Qurais Shihab
tentang ayat jilbab (surat Al-Ahzab ayat 59) yang ia tulis dalam salah
satu bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah. Hal ini dilakukan untuk
membendung terjadinya penyesatan pemikiran di kalangan umat Islam dengan
memaparkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas ilmunya
(mu’tabar) baik yang salaf maupun kontemporer.
II. PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat,
yaitu surat Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal
dengan ayat jilbab. Ayat yang dimaksud ialah:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan
yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita
muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab,
karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja
cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini
diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan
yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah,
terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang
belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya.”
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga
sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang
berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan
terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat
An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan
Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus
dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan
Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan
Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab
dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita
adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut
Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama
kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan
pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh
banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk
mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas
wanita Muslim dewasa ini.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah
produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم
آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam
kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama
agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab
(33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya.
Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه
عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع
نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin;
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu.
Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga
bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh
bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa
meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan
semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula,
menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi
wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika
menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M.
Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali
wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan
mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan
terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan
tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.”
Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab
memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara
garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama,
menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan
bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita
mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas
aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran
dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada
kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba
untuk mengkritisinya.
III. KRITIK ATAS PENAFSIRAN M. QURAIS SHIHAB
A. Makna Jilbab dan Mengulurkan Jilbab dalam Al-Qur’an
Sebelum masuk pada inti pembahasan, ada baiknya disampaikan terlebih
dahulu tentang makna jilbab dalam pandangan Al-Qur’an. Secara bahasa,
kata al-jilbab sama dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna
baju yang menutupi seluruh tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar atau
tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa yang dipakai di atas baju
seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita.
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab mengatakan bahwa jilbab berarti
selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada,
dada, dan bagian belakang tubuhnya.
Jilbab berasal dari kata kerja jalab yang berarti menutupkan sesuatu
di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat
Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh
seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk
dan bentuk tubuhnya tidak kelihatan.
Penelusuran atas teks Al-Qur’an tentang jilbab agaknya tidak sama
dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir menggambarkan
jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa
jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu
Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair Al-Nakha’i, Atha
Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan “izar” sekarang. Al-Jauhari,
ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau
sarung yang digunakan untuk menutup badan.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani
tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka
ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab
yang dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang
menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu
mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka
mereka.
Menurut Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan.
Ia juga menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah
kaum wanita untuk menutup separo wajahnya.
Azzamakhsyari dalam Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang
lebih besar daripada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang.
Ia dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya.
Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka artinya mengulurkan jilbab ke wajah mereka
sehingga yang tampak dari seorang wanita hanyalah satu matanya yang
digunakan untuk melihat jalan jika dia keluar untuk suatu keperluan.
At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah
menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali
satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknainya
demikian ialah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah As-Salmani, dan
lain-lain.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup
wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi,
At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi
menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut
dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah
keperluan.
Dari rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada
umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian
tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Di
antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan
kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh
badan dan separuh wajah dengan memperlihatkan kedua mata; dan
mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari
dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah sebuah
kewajiban agama bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya
memakai jilbab dan berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab:
apakah mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke
seluruh tubuh kecuali dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh
kecuali muka. Jadi, pendapat M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa
kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah khilafiyah jelas tidak
berdasar. Sebab, para ulama ahli tafsir sejak dahulu hingga sekarang
telah bersepakat tentang kewajiban memakai jilbab bagi kaum muslimah.
Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun
hadits dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat.
B. Tafsir Ayat Jilbab
Bagaimanakah para ulama yang terpercaya dari zaman dahulu hingga
sekarang menafsirkan ayat jilbab? Apakah pendapat mereka sesuai dengan
pendapat M.Qurais Shihab ataukah justru bertentangan? Untuk mengetahui
hal itu, kita perlu mengkaji buku-buku tafsir yang sudah diakuai dan
diterima oleh umat Islam di dunia. di antaranya ialah:
1.Tafsir Ibnu Abbas
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan,
“Selendang atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada
agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.
2. Tafsir Al-Qurthubi
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Al-Qurthubi menulis, “Allah
memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar
tidak memperlihatkan tubuh dan kulitnya kecuali di hadapan suaminya,
karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”
3. Tafsir Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah
memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat—khususnya para
istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka—untuk mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah
dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin
berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah,
“يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah
dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
4. Tafsir Sayyid Qutb
Menurut Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada
istri-istri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah
senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai
jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal
demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan
agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang
bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan
mengurungkan niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat
dan mulia secara islam.
5. Tafsir Ath-Thabrasi
Maksudnya, katakanlah kepada mereka untuk menutup dadanya dengan jilbab, yaitu pakaian penutup yang membalut keindahan wanita.
6. Tafsir Wahbah Az-Zuhaili
Maksudnya, Allah meminta Rasul-Nya memerintahkan wanita-wanita mukminat,
khususnya para istri dan anak beliau, jika keluar rumah untuk
menutupkan jilbab-jilbab mereka agar membedakannya dari para budak. Ayat
ini menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan
mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu
Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah
menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram)
atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.
Dari penafsiran para ulama yang memiliki otoritas dalam tafsir
Al-Qur’an tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sepakat atas
wajibnya jilbab bagi kaum muslimah. Penafsiran mereka sudah diakui
kebenarannya dan diamalkan oleh umat Islam selama berabad-abad lamanya.
Lalu, bagaimana bila tiba-tiba pendapat tersebut dimentahkan dan
disalahkan oleh satu orang yang datang belakangan yang otoritasnya dalam
ilmu agama masih dipertanyakan? Apakah dapat diterima oleh logika?
Sesungguhnya, praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh
Rasulullah bahkan dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin, serta
penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi
bukti dan qarinah (petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab
adalah para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali,
atau dengan pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
Rupanya M.Quraish Shihab mengkritisi pendapat para ulama yang
memiliki otoritas dalam ilmu agama dan sama sekali tidak mengkritisi
pendapat tokoh yang dianutnya, baik Muhammad Thahir bin Asyur maupun
Al-Asymawi yang notabenenya penganut paham liberal dan pluralisme agama.
Seharusnya M.Quraish Shihab lebih kritis terhadap pendapat kedua tokoh
tersebut yang otoritas ilmu agamanya masih diragukan, dan bukannya malah
langsung mengikutinya tanpa memberi catatan. Ini jelas menunjukkan
sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang
dipaksakan dan asal mencari pendapat yang longgar.